AGUNG POST NEWS: pikiran
Tampilkan postingan dengan label pikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pikiran. Tampilkan semua postingan

08 Desember 2021

Atlet Juara Porprov Akan Dibawa Kemana?




Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM ( Wakabid Humas KONI Sumsel/Mantan Ketum KONI OI).

PEKAN Olahraga Provinsi   Sumatera Selatan (Porprov Sumsel) XIII tahun 2021 di OKU Raya telah berakhir dengan bermacam pernak-perniknya, baik plus maupun minus yang menjadi pengalaman dan pelajaran berharga untuk event di masa mendatang. Selanjutnya pasca Porprov, hal yang sangat penting dilakukan adalah bagaimana  pembinaan atlet yang meraih juara, baik peraih medali emas, perak maupun perunggu. Baik  dari nomor  perseorangan maupun beregu. Karena pada hakikatnya event Porprov diadakan untuk menjaring atlet-atlet potensial untuk dibina lebih lanjut menjadi atlet Sumsel yang dipersiapkan untuk event berskala nasional, seperti PON dan Kejurnas.



Sudah selayaknya para atlet yang menjadi juara Porprov, terutama mereka yang meraih medali emas dan perak, direkrut dan dimasukkan sebagai atlet Sumsel (tingkat provinsi),  terutama yang sifatnya perseorangan atau beregu kecil. Sedangkan cabor  beregu besar seperti sepakbola, volly indoor, basket, bola tangan, dan hockey, para atlet yang direkrut tentu sifatnya atlet pilihan dari tim/regu yang terbaik. Disinilah peran tim pemandu bakat (talent scouting) sangat vital. Tindak lanjut para juara Porprov ini sejatinya ditangani oleh KONI Provinsi yang bekerjasama dengan Pengprov Cabor terkait. Para juara ini sebaiknya dipanggil kembali untuk dilakukan seleksi lanjutan. Nah bagi mereka yang terjaring akan dibina lebih lanjut oleh Koni Provinsi, sementara yang tidak terjaring dikembalikan ke kabupaten/kota. 



Cara ini juga bisa digunakan oleh Koni Provinsi yang merupakan PB Porprov, untuk memastikan apakah atlet pemenang Porprov tersebut murni atlet daerah Sumsel atau hanya "dibon" untuk kepentingan sesaat. Kalau ternyata atlet peraih medali itu sifatnya "bonan"  belaka, sudah selayaknya daerah dan cabor yang melakukan hal ini di black-list tidak boleh ikut Porprov berikutnya (Porprov XIV di Lahat). Bila perlu juga, medali yang telah diraih dalam Porprov XIII dibatalkan. Kalau hal ini dilakukan setidaknya akan memberi efek jera bagi kabupaten/kota yang berbuat demikian.



Nah kembali kepada tindaklanjut pembinaan terhadap para atlet juara Porprov yang telah lolos seleksi lanjutan, tentu mereka tercatat sebagai atlet provinsi. Mereka akan bergabung dan bersaing dengan atlet Sumsel eks PON Papua lalu. Dengan demikian maka gelaran Porprov bukan hanya sekedar ceremonial dua tahunan, tapi juga bermanfaat dalam memperkaya/menambah atlet tingkat provinsi.



Tentu dalam hal ini diperlukan biaya pembinaanes yang tidak sedikit. Bagi atlet dari daerah yang akan dibina oleh KONI provinsi, juga perlu pengaturan asrama/home stay dan juga tempat sekolah/kuliah bagi yang msh bersekolah. Hal-hal teknis dan soal pembiayaan tersebut harus direncanakan seapik mungkin.  Tapi bisa juga dilakukan dengan pola lain, yakni atlet yang sudah promosi menjadi atlet provinsi ini, pembinaannya tetap di daerah kabupaten/kota, tapi dengan biaya dan kontrol ketat dari KONI provinsi. Masalah teknis ini bisa dirembukkan lebih lanjut mana yang paling baik dan paling mungkin dijalankan. Tapi esensinya bahwa para atlet pemenang Porprov, harus mendapat pembinaan lebih lanjut dan lebih baik.



Begitulah kalau Sumsel ingin memperbaiki prestasi di PON 2024 mendatang. Memang peringkat Sumsel pada PON Papua naik ke urutan 16 dari 34 provinsi, hal ini secara rangking lebih baik dibanding prestasi pada PON 2016 di Jawa Barat yang menempati peringkat 21. Tetapi hal ini masih belum bisa dibanggakan, apalagi Sumsel mempunyai fasilitas olahraga yang bertaraf internasional. Karena itu sepantasnya untuk bidang olahraga, Sumsel terbaik di luar Pulau Jawa. Setidaknya paling kecil masuk peringkat 10 besar secara nasional. 
Karena itu untuk mencapai prestasi tersebut, memang harus dilakukan pembinaan atlet secara lebih intensif, terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan kurun waktu yang memadai. Untuk menghadapi PON tahun 2024 di Sumut dan DI Aceh, setidaknya pembinaan harus dimulai paling lambat pertengahan tahun 2022 hingga menjelang PON tahun 2024.



Para atlet yang digembleng bersumber dari atlet yang memperkuat PON Papua lalu, ditambah para atlet pemenang Porprov XIII OKU Raya. Dengan stok atlet seperti ini, ditambah pembinaan sejak sekarang, mudah-mudahan prestasi  Provinsi Sumsel di ajang nasional akan sesuai harapan. Inilah yang sejatinya ditindaklanjuti pasca Porprov di OKU Raya ini. Jangan lagi membuang banyak waktu. 



Semua pihak yang terkait dalam pembinaan olahraga di tingkat provinsi mulai dari Dispora,  Disdiknas, KONI dan Pengcabor, dengan didukung Gubernur dan DPRD, seyogianya satu persepsi. Dan persepsi itu tiada lain adalah pembinaan sejak sekarang, terpadu, objektif dan bertujuan mencetak juara/prestasi. Mengenai teknisnya bisa juga lokasi pembinaan para atlet tingkat provinsi ini, dibagi ke daerah2, tapi dengan catatan di bawah supervisi dan kontrol ketat tim olahraga provinsi. Ayo saatnya Sumsel cetak juara!. *****

10 Maret 2020

BPJS, Rumit Sejak Mendaftar Oleh: Dr Yenrizal MSi



TENTU publik di Indonesia sudah sangat akrab dengan yang namanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia ini, yang dikelola oleh sebuah badan tersebut, banyak jadi tumpuan bagi publik dalam layanan kesehatan. Pemerintah juga dengan percaya diri berkata bahwa ini adalah bentuk pemberian jaminan pengobatan pada warga.

Sebagai asurasi kesehatan, sebenarnya konsep ini sudah lama dikenal, khususnya pegawai negeri sipil (PNS). Dulu disebut dengan istilah Askes (asurasi kesehatan), dengan ciri khas kartu berwarna kuning. Setiap PNS diwajibkan ikut asuransi ini, pembayaran dengan potong gaji tiap bulan. Layanannya disesuaikan dengan golongan PNS tersebut.

Belakangan dengan keluarnya kebijakan BPJS, model Askes PNS dilebur ke BPJS, maka jadilah PNS pun disebut sebagai nasabah BPJS. Caranya tetap seperti lama, hanya namanya diganti. Tetapi ada satu perbedaan khas lagi, jika dulu hanya khusus PNS, sekarang berbaur pada satu kantor layanan. Apapun itu, hakekatnya sama, layanan asuransi kesehatan bagi warga negara dengan membayar setiap bulan.

Sebenarnya, yang namanya bisnis asuransi, kekuatan utama ada dari banyak atau tidaknya nasabah. Perusahaan asuransi hidupnya dari situ. Tetapi khusus BPJS, modelnya bukanlah murni bisnis. Pemerintah menerapkan sistem subsidi, sehingga tarif iuran dianggap lebih murah dan terjangkau. Istilahnya, ini adalah layanan asurasi yang lebih banyak sosialnya, katanya seperti itu.

Namun demikian, yang jelas posisinya sama, bahkan bisa dikatakan lebih sensitif, karena BPJS berhubungan dengan publik yang sakit, dalam arti sebenarnya. Mereka yang menggunakan BPJS pastilah sedang sakit, baik katagori parah atau tidak. Sensitifitas orang sakit tentu berbeda dengan mereka yang sehat.

Lantas apakah dengan demikian BPJS memang mengasyikkan? Belum tentu. Bagi yang masuk katagori gawat darurat memang terasa membantu sekali, prosesnya cepat dan tidak bertele-tele. Sampai di sini, acungan jempol pantas diberikan. Setidaknya saya sudah mengalami beberapa kali layanan baik dan menguntungkan dari BPJS. Tetapi jika yang sifatnya tidak gawat-gawat amat, perbanyaklah bersabar.

Keluhan-keluhan dalam layanan BPJS ternyata tidak hanya saat di rumah sakit saja. Pengalaman saya setidaknya mengalami beberapa hal. Pertama, saat pendaftaran sebagai peserta. Di sini bisa dibagi dua, peserta baru atau untuk menambah peserta. Untuk bisa melakukan hal ini, masyarakat diwajibkan datang langsung ke kantor BPJS terdekat. Tidak bisa secara online atau metode lain. Di sini sudah terasa kesulitan besar, yaitu waktu dan kepastian berapa lama proses dilakukan. Waktu yang diperlukan, mulai dari mengambil nomor antrian sampai dilayani, setidaknya dibutuhkan waktu 2 – 5 jam. Pengalaman ini saya rasakan langsung di Kantor BPJS Palembang. Datang pukul 11 siang, dapat antrian 322, sementara yang berjalan baru 70. Petugas berkata kemungkinan sekitar pukul 14.00, ternyata sampai pukul 15.30, baru sampai antrian 290.

Untuk hal ini, kenapa BPJS tidak berbuat inovasi seperti Samsat misalnya, yang membuat kantor layanan keliling serta membuat perwakilan di beberapa mall, semacam BPJS Corner. Ini dengan alasan bahwa jumlah warga yang dilayani oleh lembaga ini sangat banyak. Bisa pula dengan mengefektifkan layanan online yang bisa diakses warga secara cepat dan mudah.

Kedua, layanan saat di rumah sakit setelah melalui fasilitas kesehatan tingkat I. Sebenarnya proses tidaklah terlalu rumit, hanya saja masalah terjadi ketika yang akan dilayani jumlahnya demikian banyak, sehingga antrian pasti terjadi. Di sinilah perlunya manajemen waktu yang baik dan penataan kesiapan pihak rumah sakit dalam menerima masyarakat dalam jumlah banyak. Logikanya sederhana, jika peminat banyak, seharusnya yang melayani juga diperbanyak. Logika ini disambung dengan logika lain bahwa orang sakit membutuhkan layanan cepat, terlepas dari kondisi darurat atau tidak.

Lamanya waktu antrian memang jadi masalah besar (atau tidak dianggap besar). Sudah sangat sering terjadi, proses layanan kesehatan kadang membutuhkan waktu sampai setengah hari atau malah seharian. Publik yang sakit, harus antri menunggu sekian lama. Tak heran jika kadang ada seloroh, berobat dengan BPJS, satu penyakit sembuh, tapi muncul pula penyakit baru.

Ketiga, untuk layanan tertentu seperti perubahan faskes I, BPJS sudah menerapkan sistem JKN Online, dimana dengan aplikasi android, publik bisa langsung merubah faskes atau turun kelas tanpa harus repot-repot ke kantor BPJS. Di satu sisi ini bagus dan menguntungkan. Tetapi, masalah muncul lagi, masalah yang sifatnya teknis, tetapi sangat mengganggu, yaitu aplikasi yang ada sangat sering meminta dilakukan update. Jika tidak melakukan update, layanan terhenti. Menganggukah? Pasti, karena tidak setiap hari orang membuka aplikasi JKN Online, hanya saat akan digunakan saja. Masih mending jika saat itu, aplikasi kita masih menyisakan kuota cukup, jika tidak, nambah kuota harus dilakukan dan itu butuh waktu serta uang. Sesuatu yang tidak baik dalam konteks penggunaan IT.

Selain tiga masalah di atas, mungkin ada lagi daftar keluhan publik yang muncul seperti jenis penyakit yang dilayani, klaim yang tidak sepenuhnya, ataupun proses birokrasi yang panjang sejak dari faskes tingkat I. Inti dari semua itu adalah kualitas pelayanan yang tidak menyenangkan.

Dalam konteks birokrasi modern, keresahan-keresahan publik sebenarnya adalah hal yang harus dihindari dan tak boleh ada. Tetapi faktanya ini terus terjadi, rutinitas, sebagaimana dikatakan petugas bahwa kalau hari Senin atau Selasa memang demikian, ramai. Di sinilah kritik perlu dimunculkan, karena keluhan tidak boleh dijadikan rutinitas. Sensitifitas publik akan berhubungan dengan berbagai isu miring yang menerpa lembaga BPJS. Alhasil, tak salah jika dikatakan bahwa BPJS memang rumit, bahkan sejak pendaftaran, sehingga menjadi tak perlu dimasalahkan jika BPJS seringkali di bully oleh publik. Setidaknya komunikasi layanan publik tak berjalan baik, seakan nyaman dengan berbagai kritikan. Entah suatu saat BPJS akan berbenah, mungkin saja.

Penulis: Dr. Yenrizal, M.Si, Dosen FISIP UIN Raden Fatah.

Ad Placement

Intermezzo

Travel

Teknologi