Ogan Ilir, "Ap News" Online - Kejaksaan Negeri (Kejari) Ogan Ilir, akhirnya menetapkan tersangka kasus mafia tanah di wilayah Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir dan sebagian Kecamatan Muara Belida, Kabupaten Ogan Ilir.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Ogan Ilir, Muhammad Assarofi mengungkapkan, kasus ini telah ditangani Seksi Pidsus Kejari Ogan Ilir sejak Oktober 2023 lalu hingga saat ini.
Adapun penetapan tersangka kasus mafia tanah oleh Kejari Ogan Ilir tersebut terhadap pria berinisial L, mantan Kepala Desa Kayuara Batu Kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim.
Tersangka L pun dilakukan penahanan selama 20 hari dengan perintah penahanan Nomor : Print-06/L.6.24/Fd.1/07/2025 tanggal 22 Juli 2025.
Menurut Assarofi, tersangka diduga melakukan tindak pidana sebagaimana diatur atau diancam pidana dalam primair Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UURI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 KUHPidana.
Subsidair Pasal 3 jo pasal 18 UURI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UURI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 KUHPidana.
"Penyidikan ini menelusuri keterlibatan sejumlah pihak," tegasnya.
Dijelaskan Assarofi, tersangka L diduga melawan hukum telah menerbitkan dan menggunakan Surat Pengakuan Hak (SPH) palsu di atas lahan negara yang masih berstatus kawasan hutan.
"Sampai dengan saat ini penyidik telah memeriksa saksi-saksi secara intensif sebanyak 63 orang, " sebutnya.
Tanah-tanah tersebut kemudian dijual kepada pihak lain secara orang perorangan, antara lain telah menyamarkan asal-usul tanah dalam kawasan hutan, dengan nilai total transaksi mencapai lebih kurang Rp 29 miliar.
Lahan yang dijual itu kemudian ditanami kelapa sawit, padahal berada dalam kawasan hutan negara berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.6600/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021.
Selain melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan pengelolaan keuangan negara, para pelaku juga diduga menghindari kewajiban menyetorkan atau melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai lebih kurang Rp 14 miliar, yang seharusnya dibayarkan ke kas negara atas penggunaan kawasan hutan tersebut.(cal/ap)